October 8, 2019

Semarak Semangat Satu Abad Hubungan Internasional

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Richard Devetak

Semarak satu abad Hubungan Internasional (HI) disuguhkan oleh program studi HI Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB). Prodi HI FISIP UB menghadirkan rangkaian acara yang dikemas melalui Seminar Internasional dan Workshop Metodologi. Rangkaian acara tersebut  berlangsung selama tiga hari mulai tanggal 19 Agustus 2019 sampai dengan 21 Agustus 2019.  Spesialnya, pada peringatan satu abad HI ini juga dihadiri para tamu undangan dari  Program Studi Hubungan Internasional dari berbagai universitas, seperti Universitas Sulawesi Barat, Universitas Airlangga, Universitas Jember, Universitas Muhammadiyah Malang dan Universitas Darussalam Gontor.

Kegiatan Seminar Internasional diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 2019 di Auditorium Nuswantara FISIP dengan mengusung tema “Contemporary Debates in International Relations”. Pembicara dalam kegiatan tersebut adalah Assoc. Prof. Richard Devetak dari Queensland University, Assoc. Prof. Titus Chih-Chieh Chen dari National Sun Yat-Sen University, Drs. Muhadi Sugiono, M.A. dari Universitas Gajah Mada, serta Yusli Effendi, S.IP., MA dari Universitas Brawijaya.

Pada seminar tersebut, Richard mengkritik narasi konvensional Hubungan Internasional. “Meskipun studi Hubungan Internasional pertama kali didirikan di University College of Wales di Aberystwyth pada tahun 1919, tapi tidak ada akademis Hubungan Internasional yang percaya bahwa studi Hubungan Internasional lahir tahun 1919”, ujar Richard. Banyak ahli yang percaya meskipun secara institusional studi Hubungan Internasional dibentuk pada tahun 1919, tetapi pokok bahasan studi Hubungan Internasional, seperti anarki, sudah dipelajari di studi Ilmu Politik sebelumnya. Bahkan perdebatan besar pertama yang diajarkan dalam narasi konvensional, yakni antara realisme dan idealisme, belum tentu terjadi.

Muhadi

Prof Titus (kiri) Yusli Effendi (kanan)

Tidak hanya itu, Hubungan Internasional juga perlu dipelajari dari perspektif Cina. Cina saat ini telah salah satu power di dunia internasional yang harus diperhitungkan berkat kemajuan ekonominya. Maka, penting bagi akademis HI untuk memahami perspektif HI yang digunakan oleh Cina. Namun meski perkembangan ekonomi Cina sangat pesat tetapi tidak begitu dengan perkembangan studi HI di Cina. Para akademisi HI yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pemerintah akan ditekan dan dipersulit. “Hal ini juga menyebabkan kurangnya pemikiran kritis pada studi Hubungan Internasional di Cina”, ujar Titus. Bahkan pemikiran bahwa untuk mendapatkan kedamaian internasional Cina harus menjadi pusat dunia terus berkembang meskipun  pemikiran ini terus ditentang oleh para akademisi Hubungan Internasional dari negara lain.

Sementara itu, menurut Muhadi, di Indonesia berbagai perkembangan positif itu seperti antusiasme untuk mempelajari studi Hubungan Internasional semakin bertambah. Bahkan ada lebih dari 70 universitas di Indonesia yang sudah mempunyai program sarjana untuk studi Hubungan Internasional. Para ahli studi Hubungan Internasional pun memiliki kualifikasi akademis yang semakin baik dengan belajar di luar negeri dan teori-teori yang dipelajari pun sudah semakin berkembang, berbeda dengan para akademis terdahulu yang hanya mempelajari teori realisme dan liberalisme.

Sedangkan menurut Yusli, dalam mempelajari studi HI, perspektif Barat memang umum dilakukan, karena sifat HI saat ini yang masih Eurosentris. Namun, pada kesempatan tersebut Yusli menjelaskan bahwa Indonesia juga memiliki perspektif yang bisa digunakan sebagai perspektif alternatif dalam studi Hubungan Internasional yakni perspektif Jawa. Yusli memberi contoh menggunakan perspektif Jawa, karena meskipun terdapat banyak budaya di Indonesia, tetapi  kultur Jawa masih mendominasi di Indonesia saat ini.

Salah satu konsep yang sangat berbeda dengan konsep Barat adalah konsep power. Hal itu dikarenakan dalam perspektif Jawa, soft power itu lebih penting daripada hard power. “Lebih baik memenangkan hati dan pikiran masyarakat daripada menggunakan kekerasan untuk mempertahankan power”, ujar Yusli. Lebih lanjut, Yusli juga mengatakan bahwa konsep ini juga digunakan oleh Soekarno dalam menggagas Konferensi Asia Afrika untuk melawan pengaruh Barat di Asia dan Afrika. (Rama/Humas FISIP)

Sumber

Leave a Comment